Dari menjadi supir taksi hingga menjual medali. Beginilah wajah atlet tanah air, mereka tertatih dan terlupakan begitu saja..
Feed - Tidak adil rasanya bila manusia yang mengorbankan tenaga demi membela negara tapi tak mendapat apresiasi besar ketika masa tua sudah mendekat.
Tak hanya mantan pejuang yang merasakan, nasib serupa juga dialami oleh sejumlah atlet Indonesia yang seiring waktu mulai terlupakan. Padahal di masa jayanya tidak jarang mereka meraih banyak prestasi, mendulang banyak medali, dan mengharumkan nama bangsa di negeri orang.
Mereka yang bercucuran keringat di lapangan sudah tidak lagi mendapat perhatian pemerintah. Untuk berjuang hidup mereka menjual medali dan menjadi supir taksi demi sesuap nasi.
Menyedihkan memang, seperti inilah wajah atlet tanah air kita ketika masa tua. Mereka tertatih dan terlupakan begitu saja. Seperti atlet berikut ini, di masa jayanya mereka menjadi pahlawan bangsa tapi kini mereka mulai terlupakan bahkan tak ada yang mengenalnya.
1. Ellyas Pical
Anak jaman sekarang mungkin tak ada yang mengenal sosok petinju asal Indonesia ini. Dia yang meraih gelar juara dunia pertama dari tanah air. Elias Pical namanya. Pria kelahiran Maluku, 24 Maret 1960 ini merupakan sosok yang disegani di dunia olah raga tinju ketika tahun 80a.
Tak membutuhkan waktu yang cukup lama, dengan waktu yang cukup singkat Ellyas sudah berhasil juara kelas internasional. Bahkan yang hebatnya lagi, beberapa media di luar sana memberi julukan kepada Ellyas Pical dengan "The Exocet", nama yang merujuk pada rudal yang digunakan Argentina di Perang Malvinas.
Namun sayang nama harum bangsa Indonesia yang sudah dibawanya bertahun-tahun tidak mendapat apreasiasi yang besar dari pemerintah, Setelah pensiun dari dunia tinju, Ellyas yang tidak sempat lulus SD ini malah menjadi petugas keamanan (satpam) di sebuah diskotik di Jakarta. Baca selengkapnya di sini.
2. Marina Segedi
Nasib sama dialami oleh atlet pencak silat yang di masa tuanya memiliki kesulitan untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Ia merupakan pejuang olah raga yang pernah menjadi pahlawan bagi bangsanya, yakni Republik Indonesia.
Setelah masa pensiunnya, wanita peraih medali emas saat SEA Games di Filipina, 1981 ini menjalani hidup yang bisa dikatakan kurang layak jika dibandingkan dengan segudang prestasi yang diraihnya selama menjadi atlet.
Ia sempat menjadi sopir taksi yang kemudian mencari penumpang menjelajah seantero Jakarta. Tak hanya itu tiga tahun kemudian Marina yang hidup sebagai single parent memutuskan untuk berhenti sebagai sopir taksi dan beralih dengan berjualan makanan. Namun kemudian ia pun kembali menjadi sopir taksi untuk menghidupik kedua putrinya.
Yang menyedihkannya lagi, Sampai pada akhirnya di tahun 2011 ia mendapat tunjangan rumah dari Kemenpora dan mendapat bantuan Rp50 juta dari PT Jasa Marga di kantor KONI Pusat pada tahun 2013. Baca selengkapnya di sini.
3. Tati Sumirah
Sebelum masuk ke era kejayaan Susi Susanti, nama Indonesia sudah diharumkan oleh Srikandi bernama Tati Sumirah pada tahun 1975. Ia berhasil membuat nama Indonesia berkumandang di ajang bulu tangkis paling bergengsi dunia dengan merebut Piala Uber melalui kejuaraan bulu tangkis lewat kelas single putri.
Keberhasilannya dalam ajang dunia itu pun sontak membuat nama seorang Tati Sumirah tersohor di tanah air dan dikagumi banyak orang. Pada masa kejayannya dulu, medali emas pun selalu berhasil ia kalungi di arena Pekan Olahraga Nasional (PON).
Tetapi setelah memutuskan untuk gantung raket, namanya pun mulai meredup dan kehidupannya pun berupah drastis. Selama 24 tahun Tati Sumirah bekerja di Apotek Ratu Mustika sebagai Kasir.di bilangan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan.
Beruntung, seorang Rudi Hartono yang juga merupakan legenda di bidang olah raga bulu tangkis yang sekaligus seorang pengusaha menawarinya sebuah pekerjaan di perusahaan Oli Rudi. Jika tidak ada bantuan dari Rudi hartono mungkin sampai sekarang profesi sebagai kasir apotek itu masih dilakoninya Tati Sumirah. Baca selengkapnya di sini.
4. Hapsani
Setinggi apapun prestasi yang didapat sepertinya belum bisa menjamin kehidupan di kemudian kelak. Hal itulah yang dialami para atlet tanah air, Hapsani. Peraih medali perak dan perunggu di SEA Games 1981 dan 1983 ini menjalani hidup yang pas-pasan selama pensiun dari dunia olah raga.
Bahkan mantan atlet lari estafet 4 x 100 meter ini terpaksa menjual medali yang diperolehnya ke pasar loak di Jatinegara Jakarta Timur, pada 1999 demi sesuap nasi dan memenuhi kebutuhan sehari hari.
Hal ini tentunya tak layak diterima bagi sesorang yang pernah berjuang mati-matian untuk mengharumkan nama bangsa. Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan para mantan atlet dengan menyediakan tunjangan hidup sebagi bentuk penghargaan bagi rakyatnya. Baca selengkapnya di sini.
5. Gurnam Singh
Di era 1960-an, Indonesia memiliki Gurnam Singh, pelari tercepat Asia yang telah membawa harum nama bangsa. Tetapi sangat disayangkan, pemerintah lagi-lagi tak melirik mantan ateltnya yang di masa pensiunnya hidup terlunta-lunta dengan susah payah mencari nafkah demi kelangsungan hidupnya.
Di era kejayaannya, Gurnam mendapatkan tiga medali emas pada ASEAN Games ke-4 yang berlangsung di Jakarta. Berkat prestasinya itu, Presiden RI Soekarno menjadikannya sebagai tamu kehormatan dan memberinya 20 ekor sapi serta dua unit mobil sebagi bentuk penghargaan.
Di tahun 1972, rumah yang didapat dari jerih payahnya selama menjadi atlet pun digusur oleh pemda setempat lantaran dianggap tak memiliki izin mendirikan bangunan. Sejak itulah kehipan Gurnam kian menyedihkan, ia kerap kali berpindah-pindah tempat untuk tinggal, bahkan ia sempat menempati sebuah kuil yang terletak di kawasan Polonia Medan. Baca selengkapnya di sini.
6. Surya Lesman
Jaman sekarang mungkin para penggila sepak bola tanah air hanya mengenal nama El Loco Gonzales atau Andik Firmasnyah. Namun jauh kebelakang seblum kejayaan nama-nama tersebut sudah lahir sosok pesepak bola tanah air yang disegani di Asia bernama Surya Lesmana.
Pria keturunan Tionghoa yang lahir dengan nama Liem Soei Liang ini memiliki gaya bermain sepakbola yang cemerlang bersama timnas selama 10 tahun (1963-1972). Hingga kepiawaiannya memainkan bola pun memikat pemilik klub Mac Kinan Hongkong.
Namun nampaknya, Surya Lesmana tidak menyiapkan tabungan untuk masa tuanya. Untuk bertahan hidup Ia melatih anak-anak kecil di lingkungannya bermain sepak bola dengan upah seadanya. Menyedihkannya lagi, pria ini pernah menumpang di rumah temannya di kawasan Glodok, Jakarta Barat yang hanya tidur beralaskan kardus. Kini Sang Bintang pun sudah tutup usia akibat serangan jantung. Baca selengkapnya di sini.