Dalam kalender Hijriyah, penentuan awal bulan tergantung pada penampakan bulan, di mana 1 bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 hari.
Feed.merdeka.com - Tinggal hitungan pekan, umat Islam di seluruh dunia akan melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan, 1438 Hijriyah. Dalam kalender Hijriyah, penentuan awal bulan tergantung pada penampakan bulan, di mana satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 hari.
Di Indonesia, pemerintah belum menyampaikan pernyataan resmi jatuhnya awal Ramadan. Namun biasanya, hitungan awal Ramadan akan diketahui setelah badan hisab melakukan sidang isbat yang dilakukan sehari sebelum bulan berganti dalam hitungan Hijriyah.
Lain lagi dengan Muhammadiyah, penentuan awal Ramadan biasanya menggunakan hisab. Sedangkan Nahdlatul Ulama menggunakan Rukhyatul Hilal.
Di luar itu, jemaah Islam dengan aliran tertentu ini punya cara tersendiri menentukan awal bulan Ramadan. Hal itu membuat mereka lebih dulu menjalankan ibadah puasa atau justru paling akhir.
Kelompok apa saja itu dan bagaimana cara mereka menghitung awal Ramadan?
1. Penganut Islam Aboge
Penganut ajaran Islam Kejawen Alif Rebo Wage atau Aboge punya cara tersendiri untuk menentukan kapan dimulainya puasa. Jika Muhammadiyah menggunakan hisab atau perhitungan dan Nahdlatul Ulama menggunakan Rukhyah, maka kaum Aboge menggunakan almanak Jawa untuk menentukan awal puasa. Apa perbedaannya?
"Hitungannya sudah paten, formulasi penanggalannya sudah jelas," kata Juru Bicara Trah Bonokeling, Sumitro, yang menggunakan perhitungan Aboge untuk menentukan awal puasa, Selasa (17/7).
Bagi dia, perhitungan menggunakan penanggalan Jawa mudah untuk dipelajari. Setiap pemuda, kata dia, akan diajari oleh orangtuanya untuk menghitung penanggalan. Selain untuk menentukan hari baik bagi yang akan melangsungkan hajatan, penanggalan itu juga digunakan untuk menentukan hari besar agama, termasuk puasa dan Lebaran.
Dia mencontohkan, semisal berdasarkan penanggalan Jawa, tahun ini merupakan tahun wawu di mana 1 Sura atau tahun baru Islam jatuh pada hari Senin Kliwon. Tahun baru tersebut disingkat Waninwon, atau Wawu Senin Kliwon.
Menurut dia, hitungan Waninwon tersebut menjadi patokan dalam sejumlah penanggalan termasuk penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal berdasarkan rumusan yang telah diyakini penganut Islam Aboge sejak ratusan tahun silam.
Penganut Islam Aboge meyakini bahwa dalam kurun waktu delapan tahun atau satu windu terdiri atas tahun Alif, Ha, Jim, Awal, Za, Dal, Ba/Be, Wawu, dan Jim akhir serta dalam satu tahun terdiri 12 bulan dan satu bulan terdiri atas 29-30 hari dengan hari pasaran berdasarkan perhitungan Jawa, yakni Pon, Wage, Kliwon, Manis (Legi), dan Pahing.
Hari dan pasaran pertama pada tahun Alif jatuh pada Rabu Wage (Aboge), tahun Ha pada Ahad/Minggu Pon (Hakadpon), tahun Jim Awal pada Jumat Pon (Jimatpon), tahun Za pada Selasa Pahing (Zasahing), tahun Dal pada Sabtu Legi (Daltugi), tahun Ba/Be pada Kamis Legi (Bemisgi), tahun Wawu pada Senin Kliwon (Waninwon), dan tahun Jim Akhir pada Jumat Wage (Jimatge).
Hari dan pasaran pertama pada tahun berjalan ini menjadi patokan penentuan penanggalan berdasarkan rumusan yang berlaku bagi penganut Islam Aboge, misalnya Sanemro (Pasa Enem Loro) untuk menentukan awal Ramadan dan Waljiro untuk menentukan 1 Syawal.
2. Penganut Islam Tarekat Naqsabandiyah
Tarekat Naqsabandiyah masuk ke wilayah Sumatera Barat sejak tahun 1850. Kemudian perkembangannya di nusantara disebar oleh tokoh agama di antaranya Ismail al Minangkabawi, seorang ahli fiqih, ahli tasawuf dan ahli ilmu kalam.
Kelompok ini juga punya cara tersendiri menentukan awal Ramadan maupun 1 Syawal. Mereka akan melihat posisi bulan dengan mata telanjang untuk menentukan awal Ramadan. Proses melihat bulan itu dilakukan sebanyak tiga kali dalam bulan syakban. Pertama dilihat pada tengah malam tanggal 8 Syakban, kemudian pada 15 Syakban dan terakhir jelang fajar pada tanggal 22 Syakban.
Kemudian penentuan awal bulan baru berdasarkan bentuk bulan apakah telah sempurna baik setengah atau penuh. Jika sudah kemudian dilihat dan disesuaikan dengan perhitungan berdasarkan hisab munjit atau penanggalan jemaah Naqsabandiyah.
Pimpinan Naqsabandiyah Sumbar, Syafri Malin Mudo, di Padang, beberapa waktu lalu mengatakan, ibadah puasa di Naqsabandiyah dilakukan selama 30 hari, dengan 6 tambahan puasa syawal. Menurut perhitungannya jika dijalankan sebanyak 36 kali puasa itu telah dikatakan puasa satu tahun
3. Penganut Islam An Nadzir
Jemaah An Nadzir pertama kali muncul di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tepatnya di Kampung Batua, Kelurahan Romang Lompoa, Kecamatan Bonto Marannu. Semula kampung itu dikenal sebagai lokasi dengan ragam tindakan kriminal, kemudian masuknya kelompok Islam An Nadzir seakan mengubah kehidupan warga di sana.
"Alhamdulillah ustaz Rangka bersama jamaah An Nadzir dihadirkan untuk membantu selamatkan, menjauhkan penghambaan manusia kepada kemusyrikan. Sebagaimana kisah perjuangan Rasulullah yang menyelamatkan umat dari kesesatan," kata Lukman A Bakti, juru bicara jamaah An Nadzir.
Bangunan yang selama ini dianggap banyak maksiat, kemudian dijual masyarakat setempat pada jemaah An Nadzir. Kemudian dijadikan hunian, masjid hingga tempat bercocok tanam dan peternakan.
Penampilan jemaah An Nadzir berbeda dengan warga sekitar karena sehari-harinya mengenakan jubah hitam, bersorban, kopiah khas dan rambut dicat kuning kemerah-merahan. Jamaah perempuannya pun bercadar.
Kelompok ini juga punya cara tersendiri menentukan awal bulan Ramadan. Yakni mengacu pada tanda-tanda alam sebagaimana yang dilakukan zaman nabi dahulu atau menggunakan metode rukyat. Salah satu tanda alam yang menjadi acuan mereka adalah air pasang. Namun jika melihat posisi bulan, maka hal itu sudah mereka lakukan dari jauh hari sebelumnya.
4. Penganut Islam Tarekat Syathariyah
Kelompok Tarekat Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar sekitar tahun 1429 M. Kelompok ini juga berkembang di Sumatera Barat tapi berbeda dengan Kelompok Tarekat Naqsabandiyah.
Untuk menentukan awal Ramadan, penganut kelompok ini biasanya memadati Pantai Ulakan, Padang Pariaman, Sumatera Barat. Kemudian, bersama-sama melihat bulan sabit yang muncul di ufuk barat. Hal ini juga dilakukan saat akan menentukan awal bulan Syawal.
Sebelum melihat bulan, jemaah Tarekat Syathariyah lebih dahulu mengunjungi makam Syeikh Burhanuddin, tokoh agama penyebar Syathariyah di Sumatera Barat yang berpusat di Ulakan.
5. Penganut trah bonokeling
Sebagian masyarakat Banyumas, Cilacap adalah pengikut aliran Kejawen Trah Bonokeling. Kelompok ini punya cara tersendiri untuk menentukan awal puasa. Juru bicara adat Bonokeling, Sumitro mengemukakan perhitungan awal puasa dalam Trah Bonokeling menyesuaikan pada almanak Jawa yang mengikuti tarikh aboge.
Sejumlah ritual dilakukan pengikut Trah Bonokeling dalam menyambut bulan puasa. Di mana anak putu Bonokeling melaksanakan lelaku 'unggah-unggahan' dengan ziarah bersih kubur di makam leluhur mereka, Ki Bonokeling yang berada di pekuburan kuno Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang Banyumas.
Ritual melampah atau berjalan kaki tersebut dilakukan sehari sebelum upacara slametan di Desa Pekuncen. Setelah berjalan kaki menempuh puluhan kilometer, warga yang akan berziarah dipersilakan beristirahat di beberapa rumah adat untuk persiapan memulai zikir bersama pada dinihari di balai pasemuan yang menjadi pusat kegiatan ritual.
Penampilan "Betty La Fea", Dulu Buruk Kini Seksi Bak Gitar Spanyol
30 September 2016 15:53Isi Cuitan Amarah Atiqah Hasiholan Saat Diserang di Media Sosial
30 September 2016 13:23